1.
PAGI DI SAWAH LEGA selalu dimulai dengan lukisan sempurna. Kabut tipis menyelimuti hamparan hijau yang berundak, matahari pagi menyembul dari balik bukit seperti kuning telur yang pecah, menyirami segala sesuatunya dengan cahaya keemasan.
Udara terasa bersih, dingin, dan segar menusuk paru-paru. Dari kejauhan, terdengar kokok ayam bersahutan dan suara gemericik air mengalir di selokan-selokan kecil. Sebuah pemandangan desa yang begitu damai, begitu indah, asri, hingga siapa pun yang melintas akan menarik napas panjang, menikmati karunia Tuhan yang begitu nyata ini.
Tapi coba tanyakan pada para pedagang di Pasar Kabupaten, tentang sebuah desa yang terletak di lembah sebelah barat Sawah Lega itu.
Lihatlah, bagaimana ekspresi damai mereka berubah. Kerut di dahi mereka serentak akan muncul, bibir mereka akan mengerucut, dan suara mereka pun akan turun menjadi bisikan serak, penuh dengan rasa ngeri tak terbendung.
"Kampung Jahanam," begitu, mereka seringkali menyebutnya.
Kata-kata yang selalu diucapkan dengan mata melirik ke kanan-kiri. Seolah-olah nama itu sendiri adalah kutukan yang bisa menarik malapetaka.
Desa yang seringkali disebut Kampung Jahanam itu. Sebenarnya nama aslinya Suka Damai. Sebuah nama desa yang ironis, karena ketenangan atau kedamaian di sana adalah hal terakhir yang dirasakan, ketika seseorang melangkah masuk ke wilayah itu.
Jalannya masih tanah, berbatu, diapit oleh dua baris rumah kayu dan bambu yang terlihat biasa-biasa saja — sama seperti ratusan rumah-rumah di pedesaan yang lainnya. Namun, jika diperhatikan lebih saksama lagi, jelas ada keanehan yang menggelitik, membawa rasa sangat tak nyaman.
Di depan beberapa pintu, tergantung boneka kain kecil yang sudah kusam warnanya Sengaja dirajut dengan benang warna-warni yang sudah pudar sekali. Bahkan boneka-boneka itu tak pernah memiliki wajah yang jelas.
Di halaman rumah yang lain, terdapat susunan batu-batu kali berbentuk lingkaran atau spiral, dengan abu dan sisa-sisa pembakaran daun kering di tengahnya.
Di siang hari yang terik sekalipun, udara di Desa Suka Damai akan terasa begitu lembab, berat, bahkan sesekali berbau anyir. Tak jarang tercium bau sesuatu yang lain… sesuatu yang asam dan mendekati bau busuk.
Sebusuk hati para penghuninya di sana.
Dan yang paling mencolok, yang terdapat di tempat itu, adalah suasana sepinya. Di jam-jam ketika para lelaki di desa lain sibuk di ladang atau bahkan di warung-warung, jalanan di Suka Damai seringkali sepi dari kehadiran laki-laki berumur dewasa. Hanya anak-anak kecil yang masih selintas berlarian, dan para perempuan-perempuan saja.
Perempuan-perempuan yang tentu saja dengan berbagai usia. Tua, muda, sampai dengan anak-anak. Beberapa duduk di beranda, menatap kosong ke arah jalan. Beberapa lainnya tampak lalu-lalang dengan langkah cepat dan terburu-buru.
Mata mereka seringkali menghindari kontak langsung dengan warga dari luar. Ada pula yang terlihat masih mengenakan sisa-sisa dandanan mencolok dari malam-malam yang telah lewat sebelumnya, menampilkan bibir merah yang telah luntur dan mata yang agak sembab.
Di tengah muramnya desa ini, di sebuah rumah kayu di ujung jalan, hidup seorang wanita bernama Indri.
Ya, gadis berusia dua puluh dua tahun itu sudah bangun jauh sebelum fajar menyingsing. Seperti biasa, ia melaksanakan shalat sunnah, lalu berjalan sendirian menuju musala kecil yang letaknya di pinggir desa.
Musala itu selalu sepi. Catnya sudah mengelupas. Karpetnya bahkan tipis dan berdebu. Hanya Indri dan seorang nenek tua yang setia datang ke tempat itu guna shalat subuh berjamaah.
Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an Indri setelah shalat, terdengar jernih dan tenang, menembus kesunyian pagi yang masih pekat.
Setelah itu, Indri pun pulang ke rumahnya melewati jalan kecil yang gelap.
Di sana, di sebuah kamar dengan jendela kecil itu, ibunya terbaring lemah sakit-sakitan. Wanita itu terlihat kurus kering, matanya selalu saja terpejam, dan napasnya terdengar berat seperti derit kayu tua.
Indri dengan sabar menyuapinya dengan bubur, membersihkan tubuh ibunya, terkadang membacakan ayat-ayat suci yang telah sebagian ia hafal. Cinta dan kesedihan berbaur di mata Indri setiap kali ia memandang wanita yang telah melahirkannya itu. Yang kini terbaring sakit.
****
"Indri! Kulihat kau solat mulu lo dari tadi. Kan ada Tuhan di sini juga, di badan kita sendiri."
Suara itu, terdengar begitu saja, datang dari depan pagar rumahnya.
Indri yang pada waktu itu sedang menjemur pakaian di halaman, seketika menoleh.
Dia melihat seorang perempuan berdiri di sana. Dia adalah Marni, tetangga seberang rumahnya. Perempuan berusia tiga puluhan itu tampaknya baru saja pulang. Entah dari mana.
Tapi yang jelas, rambutnya masih acak-acakan. Gaun malamnya yang kini dipakai pun, yang sangat ketat sekali itu terlihat sedikit kusut. Tapi tetap mampu menampilkan jelas bentuk bra-nya di balik bahan yang tipis itu.
Indri hanya tersenyum, melanjutkan pekerjaannya.
"Setiap saat dan tempat memang ada Tuhan, Mbak Marni. Tapi kita tetap punya kewajiban."
"Kewajiban..." Marni mendecak, sambil menyalakan rokok di tangan.
Sesaat ia menghirupnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara pagi.
Matanya, yang ada garis hitamnya, memandang sosok Indri dengan pandangan yang sulit ditafsirkan.
Antara jengkel, iba, dan mungkin ada sedikit rasa iri hati dan dengki.
"Kewajiban kita yang lain juga jangan dilupakan, Dik. Apalagi kamu. Masih muda, masih segar pula. Daripada waktumu habis untuk merawat orang sakit dan baca kitab, mending…"
"Sudah jangan diteruskan, Mbak Marni," potong Indri, dengan suara tetap lunak. Tangannya sedikit gemetar saat ia menjepitkan satu kain terakhir ke tali jemuran di depannya.
Marni tertawa pendek, tawanya getir sekali.
Selanjutnya ia melangkah mendekat, suaranya setengah berbisik, dan hampir tak terdengar.
"Dukun Karsa tanya-tanya tentang kamu. Acara bulan purnama nanti akan dirayakan besar-besaran. Semua harus datang. Semua. Ingat itu." Ia menekankan kata terakhir. "Dia akan sangat kecewa… marah… kalau ada yang membandel dan tidak datang ke pesta itu. Apalagi untuk seorang kayak kamu yang masih perawan dan bersih. Akan dianggap tidak menghargai pengorbanan."
Indri membeku. Wajahnya yang biasanya tenang itu, mendadak berubah pucat. Ia sesaat memutar badan, menghadap pada Marni sepenuhnya. Menatapnya.
Di matanya yang besar dan berwarna cokelat itu, terpancar rasa ketakutan. Tapi ia dengan cepat menyingkirkannya.
"Saya tidak akan datang, Mbak. Saya tidak bisa."
2.
"Tidak bisa, atau tidak mau?" Marni mendesah, lalu melemparkan rokoknya di tanah, lalu menginjaknya. "Lihat sekelilingmu, Indri. Ini bukan dunia yang adil. Kita hidup di sini, di Tanah Jahanam ini, karena suatu alasan. Ada harga yang harus dibayar. Kami," ia menunjuk ke arah tubuhnya sendiri, lalu ke arah rumah-rumah disekitarnya, "sudah membayarnya dengan cara kami sendiri. Semampu kami. Kau pikir kami senang? Kau pikir kami tidak merasa kotor setiap kali matahari terbit?" Suaranya pecah.
Untuk sejenak, pribadinya yang keras itu runtuh, memperlihatkan seorang perempuan yang biasa, yang lelah bahkan hancur.
Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya ia mengangkat bahunya lagi, wajahnya kembali tidak peduli.
"Pikirkan baik-baik. Dukun Karsa bukan orang yang bisa ditolak. Dan kemarahan desa…akan lebih menakutkan lagi."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Marni pun berbalik dan masuk ke rumahnya. Meninggalkan Indri yang berdiri bak patung. Tubuhnya menggigil meski matahari pagi mulai menghangatkan udara dan suasana.
Sepanjang siang, kata-kata Marni terus bergema di kepala Indri.
Walau begitu, ia mencoba tetap konsentrasi mengurus sakit ibunya, dilanjutkan membereskan rumah, sampai menyempatkan mengaji. Namun, ketakutannya seperti kabut tebal yang menyelimuti pikirannya. Ia tahu tentang "acara-acara" sakral itu.
Ia pernah melihat, dari balik jendela kamarnya yang saat itu terkunci rapat, bayangan-bayangan perempuan berjalan bergerombol ke arah rumah besar milik Dukun Karsa di ujung desa.
Rumah yang letaknya tak begitu jauh dengan tepi hutan belantara yang gelap. Ia memang tak pernah melihat apa yang terjadi di sana, setidaknya secara langsung.
Karena ia sendiri pun, memang tak ingin tau akan hal itu.
Malam tiba dengan cepat. Malam ini, tepatnya bulan purnama penuh.
Indri menyelesaikan shalat Isya dengan tetap mencoba khusyuk. Ia memeriksa kunci pintu dan jendela berkali-kali. Ibunya sudah tidur lelap di kamarnya, dibius oleh berbagai ramuan obat dan mungkin kelelahan.
Semua lampu di rumahnya, kecuali lampu kamar ibunya yang tak begitu terang cahayanya, ia matikan. Ia ingin rumahnya terlihat kosong, tidur, tidak menarik perhatian siapa pun.
Di luar angin berbisik.
Indri duduk di lantai dekat jendela kamarnya yang menghadap ke arah jalan, sambil memeluk lututnya. Ia mencoba membaca Al-Qur'an kecil yang masih digenggamnya, tapi huruf-hurufnya bergetar tak karu-karuan, sampai huruf-huruf itu susah terbaca. Hatinya berdebar kencang, menabuh nyaring di dalam tulang-tulangnya.
Lalu, hal itu pun dimulai.
Pertama, adalah dengan terdengarnya suara genderang di kejauhan. Bukan tetabuhan kencang, melainkan sebuah bunyi pukulan dalam, berat, dan berirama seperti detak jantung yang berdebar-debar penuh nafsu.
Dum… dum… dum-dum…!
Suaranya datang dari arah rumah Dukun Karsa, merambat melalui tanah, seolah-olah desa sendiri sedang berdetak.
Indri menahan napas.
Kemudian, muncul suara suling atau seruling, meliuk-liuk dengan mendayu memamerkan lengking nada menggoda, melilit irama genderang seperti sulur yang memeluk di batang pohon.
Dan akhirnya, suara manusia pun ikut terdengar. Bukan satu atau dua, tetapi puluhan adanya.
Kebanyakan suara perempuan-perempuan. Mereka menyanyi, atau lebih tepatnya, melantunkan senandung tanpa kata yang jelas.
Suara mereka naik turun, terkadang mendesah, terkadang mendengung, penuh dengan suatu yang membuat bulu kuduk Indri berdiri.
Seperti dengungan suara penuh keputusasaan yang disamarkan sebagai pesta, suara kepatuhan yang disalah artikan sebagai kebebasan.
Dengan hati yang hampir melompat dari dalam dada, Indri perlahan mendekatkan wajahnya ke celah jendela yang tertutup gorden tipis itu.
Di jalan yang diterangi cahaya bulan purnama, ia melihat mereka.
Puluhan perempuan desa, dari yang remaja hingga yang setengah baya, berjalan beriringan.
Mereka tidak mengenakan pakaian sehari-hari. Sebagian hanya mengenakan kain sarung longgar yang dililitkan di tubuh, sebagian lagi mengenakan pakaian dalam yang terbuka, ada yang bahkan hampir tak berbaju, hanya dihiasi oleh lukisan atau simbol-simbol aneh di kulit mereka yang terpapar cahaya bulan.
Mereka berjalan seperti orang yang kesurupan, mata sebagian terlihat berkaca-kaca dan kosong. Di depan mereka, berjalan seorang perempuan yang lebih terhormat pakaiannya, mengenakan kebaya yang masih rapi. Indri mengenalinya. Itu adalah Bu Lurah, istri kepala desa.
Wanita yang di siang hari terlihat sopan dan tegas itu, kini memimpin prosesi dengan wajah datar dan langkah pasti, seolah-olah ia adalah pemandu upacara menuju altar persembahan.
Dan di belakang barisan panjang perempuan-perempuan itu, berjalan beberapa sosok laki-laki. Mereka adalah para lelaki desa yang jarang terlihat di siang hari.
Wajah-wajah mereka terlihat seram di bawah cahaya bulan, mata mereka berbinar-binar dengan api liar yang sama sekali bukan cinta atau pun kasih sayang, tetapi penuh hasrat nafsu yang tak bisa dikendalikan.
Di antara mereka, Indri melihat sosok tinggi kurus dengan jubah hitam longgar. Meski dari kejauhan, Indri bisa merasakan aura dingin dan menindas yang memancar darinya. Itulah Dukun Karsa!
Ia tidak berjalan di tengah kerumunan, tetapi mengikuti dari arah paling belakang, seperti penjaga sekaligus dalang dari seluruh pertunjukan mengerikan ini.
Mereka semua bergerak menuju ujung desa, di mana rumah besar Dukun Karsa berdiri menjulang seperti benteng hitam di tepi hutan.
Suara genderang dan senandung itu semakin keras bunyinya, semakin liar. Indri melihat beberapa perempuan mulai menggerakkan pinggul mereka dengan gerakan sensual yang tidak sewajarnya, mengikuti irama dari tetabuhan.
Seorang lelaki mendekati salah satu perempuan, tangannya meraba sangat bebas di tubuhnya, dan perempuan itu hanya mendongak ke bulan, tertawa.
Sebuah tawa yang bagi Indri terdengar seperti tangisan yang diputar balik.
Indri menarik diri dari jendela. Tubuhnya gemetar. Air mata panas mengalir dari pipinya. Ia menjatuhkan diri ke lantai, menutup telinganya dengan kedua telapak tangan kuat-kuat.
"Tidak… tidak… tidak…" ia bergumam penuh nada putus asa.
3.
Tangan mendekap telinganya, tapi suara-suara itu tetap menembus. Genderang itu seperti dipukulkan di pelipisnya. Senandung itu seperti bisikan setan di telinganya. Ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi di rumah besar itu.
Bayangan-bayangan tubuh yang bergumul, erangan yang bukan terbersit dari rasa kepuasan.
Ritual yang mencampurkan yang sakral dengan yang terkutuk. Ia teringat semua istilah kotor yang pernah ia dengar. Tentang "pesta bulan", tentang "pengabdian", serta tentang "penyatuan dengan roh sang penjaga".
Semua itu hanyalah kedok, untuk kebejatan yang paling kotor sekalipun.
Ia merangkak ke arah sajadah kecilnya. Dengan tangan yang masih bergetar, ia membuka Al-Qur'an di tangan. Namun, ia tak bisa membaca. Matanya kabur. Ia hanya mampu menekankan jari-jarinya pada huruf-hurufnya yang berangkai, berusaha merasakan ketenangan dari ayat-ayat kalamullah.
"Ya Allah… lindungi kami…" ia berdoa, dalam desahan setengah terisak. "Lindungi ibu… lindungi aku… lindungi dari kejahatan yang kulihat, dari kejahatan yang kudengar…"
Dari kejauhan, suara genderang tiba-tiba terdengar berubah menjadi tempo yang lebih cepat, suaranya lebih ganas.
Senandung perempuan berubah menjadi teriakan-teriakan tak jelas, campur baur antara kepuasan, rintihan, bahkan juga penderitaan.
Lalu, terdengar lagi suara lengkingan panjang, nyaring, menusuk malam yang sepi, seperti suara terompet dari neraka, yang pasti berasal dari mulut Dukun Karsa.
Indri menekan kepalanya ke lantai, bersujud, berusaha menenggelamkan segalanya di dalam lantunan doa. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Di dalam kegelapan kamarnya, dengan cahaya bulan yang menyelinap dari celah gorden yang menerpa atas punggungnya, ia terlihat seperti sebuah titik kecil kesalehan yang sedang dikepung oleh lautan kegelapan yang tak terbatas.
****
Suara genderang dan senandung liar itu perlahan-lahan melemah, ditelan oleh dinding-dinding kayu tebal rumah besar Dukun Karsa. Namun bagi Indri yang masih bersujud - gemetar di lantai kamarnya, keheningan yang datang justru lebih mencekik.
Ia membayangkan hal-hal mengerikan yang kini sedang berlangsung di balik rumah yang berdiri seperti monster raksasa di tepi hutan itu.
Di dalam rumah Dukun Karsa, suasana yang tercipta memang bukanlah keheningan, melainkan sebuah ketegangan yang pekat dan berbisa.
Ruang tengah rumah yang luas, rupanya telah disulap menjadi semacam panggung atau altar persembahan.
Lantai dari papan kayu ulin yang tua dilapisi oleh anyaman tikar baru bercorak merah dan hitam. Di dinding, bergantungan kain-kain putih polos yang di atasnya tercoret simbol-simbol aneh menggunakan arang atau darah hewan, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan gambar-gambar organ intim yang disederhanakan. Namun, masih terlihat vulgar.
Puluhan lilin berwarna merah menyala terang, tertancap pada penyangga besi melingkar yang digantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang bergetar dan menciptakan bayangan-bayangan hidup yang menari-nari di dinding. Bau kemenyan, bunga kamboja, campur baur menjadi satu, memenuhi udara dengan aroma yang memabukkan dan menusuk-nusuk kepala.
Para perempuan desa yang tadi sedang berarak, kini berdiri berjejalan di pinggir ruangan.
Ekspresi kosong dan bagai terhipnotis perlahan tergantikan oleh sesuatu yang lain di mata beberapa dari mereka.
Ada yang jelas ketakutan, ada yang sekedar pasrah, dan ada yang dipenuhi percikan api nafsu liar, yang dipicu oleh atmosfer di sekitaran.
Para lelaki desa yang tadi mengiringi, kini berdiri membentuk barisan di sisi lain. Mereka sudah tidak mengenakan apa-apa. Tubuh-tubuh mereka, ada yang kerempeng, ada yang berotot kasar akibat bekerja di ladang, terpapar di bawah cahaya lilin.
Mata mereka mengkilap, liar, menatap para perempuan seperti serigala yang melihat kawanan domba.
Di tengah ruangan, persis di bawah lingkaran lilin gantung, terbaring sebuah alas dari kain hitam lebar. Di sekelilingnya, berdiri lima lelaki bugil yang berbeda dari yang lain. Tubuh mereka diolesi semacam minyak yang membuat kulit mereka berkilau kemerahan di bawah cahaya. Wajah mereka ditutupi topeng kayu yang menyerupai wajah wajah setan atau binatang buas. Mereka diam membatu, seperti patung yang menunggu perintah sesat.
Dukun Karsa, masih mengenakan jubah hitam longgar yang dipakainya, berdiri di sebuah mimbar kecil di ujung ruangan.
Wajahnya yang keriput dan tajam terlihat lebih tua dan lebih kejam dibalik cahaya yang berkedip-kedip. Tangannya memegang sebuah tongkat dari tulang yang ujungnya dihiasi rangkaian bulu burung gagak dan manik-manik gelap.
"Anak-anakku!" suara Dukun Karsa menggema, parau namun penuh wibawa yang mematikan. Suara itu memotong desahan dan bisikan-bisikan yang mulai terdengar. Semua mata tertuju padanya. "Malam ini, bulan penuh berbagi sinarnya yang suci. Malam ini, kita berkumpul lagi untuk melaksanakan kewajiban tertinggi kita. Kewajiban suci. Untuk kesuburan tanah, menenangkan roh penjaga, sampai menjamin keselamatan dan kelimpahan bagi sekalian umat di Kampung kita!"
Ia menjulurkan tangannya yang seperti cakar ke arah para perempuan.
"Ingat. Kalian adalah bunga-bunga terpilih. Darah dan kehidupan kalian adalah persembahan yang paling berharga. Melalui kalian, kekuatan alam akan segera diperbarui!"
Kemudian, tongkatnya menunjuk ke arah para lelaki.
"Dan kalian adalah wadah dari benih kekuatan itu. Tanggung jawab kalian besar. Laksanakan dengan penuh semangat, dengan segala keberanian, dan kekuatan yang kalian memang miliki!"
Sebuah senyum tipis yang mengerikan menguar di bibirnya yang pecah-pecah. "Dan sekarang, untuk membuka jalan energi. Saatnya kita persembahan untuk ritual pertama!"
Suasana mendadak hening. Dari kerumunan perempuan, dua orang wanita setengah baya dengan muka pasrah menarik seorang perempuan muda ke depan.
Perempuan itu adalah Tantri. Perutnya membuncit besar, karena sedang hamil sembilan bulan.
Wajahnya pucat pasi, bermandikan keringat dingin. Matanya melotot penuh teror, melihat ke sekeliling ruangan yang penuh dengan bayangan mengerikan dan tatapan-tatapan lapar.
"Tidak… tolong… jangan saya…" rengek Tantri, suaranya parau dan penuh keputusasaan. Tangannya berusaha melindungi perutnya yang besar.
"Jangan melawan, Tantri. Ini untuk kebaikan kita semua," bisik salah satu wanita yang menahannya, suaranya datar namun ada getaran ketakutan di dalamnya.
Mereka menarik Tantri ke atas alas kain hitam di tengah ruangan. Tantri terjatuh di atasnya. Dengan cepat semua perempuan itu melepas pakaian Tantri, dengan tergesa-gesa. Sampai-sampai sebentar saja, perempuan hamil itu benar-benar sudah bugil, tak ada satu benangpun yang tersisa.
Lima lelaki bertopeng yang mengelilingi alas itu bergerak mendekat, membentuk lingkaran rapat di sekeliling tubuhnya yang gemetar.
"Laksanakan!" teriak Dukun Karsa, dan tongkatnya menghunjam ke lantai dengan suara keras.
Semua terjadi dengan cepat dan brutal, seperti sebuah badai kekerasan yang terstruktur.
Lelaki bertopeng pertama, yang badannya paling kekar, langsung merebut lilin dari penyangga di dekatnya.
Dengan gerakan cepat dan tanpa emosi, ia meneteskan lilin panas yang meleleh itu ke kedua buah dada Tantri yang membengkak karena hamil.
"AAAKHHH!" Teriakan Tantri memecah seisi ruangan, sebuah suara murni penderitaan fisik yang menusuk g Ndang telinga.
Kulitnya yang mulus hampir melepuh. Bau kemenyan tercium semakin santar.
Sebelum teriakan perempuan itu mereda, lelaki bertopeng kedua yang berdiri di dekat kepala Tantri sudah membungkuk.
Tangannya yang kasar menampar pipi Tantri untuk membuka mulutnya yang mengatup rapat karena mengerang kesakitan.
Ketika mulut itu terbuka menganga, lelaki itu mendorong penisnya yang sudah tegang dan berurat-urat ke dalam mulut si perempuan.
"Mmmpghh!" Suara Tantri tersendat, berubah menjadi dengusan dan suara tersedak yang memualkan.
Matanya membelalak, urat-urat di lehernya menegang. Ia tersedak, berusaha memuntahkan benda asing yang memenuhi kerongkongannya. Air mata dan air liur mengucur deras dari wajahnya.
LANJUTKAN BACA EPISODE BERIKUTNYA DI SINI !!
Reviewed by Admin
on
December 04, 2025
Rating:


No comments: